Mubarak adalah bapa kepada Abdullah bin Mubarak iaitu seorang Imam dalam ilmu hadis. Namanya Mubarak. Dulu, Mubarak itu seorang budak. Tuannya memerdekakannya karena keluhuran pekerti dan kejujurannya. Setelah merdeka, dia bekerja dengan seorang kaya raya yang memiliki kebun delima yang cukup luas. Dia bekerja sebagai penjaga kebun itu. Keramahan dan kehalusan tutur sapanya, membuatnya disenangi semua teman-temannya dan penduduk di sekitar kebun.
Suatu hari pemilik kebun itu memanggilnya dan berkata, “Mubarak, tolong petikkan buah delima yang manis dan masak!” Mubarak seketika itu bergegas ke kebun. Dia memetikkan beberapa buah dan membawanya pada Tuannya. Dia menyerahkan kepada Tuannya. Majikannya mencuba delima itu dengan penuh semangat. Namun apa yang terjadi, ternyata delima yang dipetik Mubarak rasanya kecut dan belum masak. Dia mencoba semuanya satu persatu, semuanya kecut dan belum masak.
Pemilik itu gusar dan berkata,”Apakah kau tidak biasa membedakan mana yang masak dan yang belum masak? Mana yang manis dan mana yang kecut?”
“Maafkan saya Tuan, saya sama sekali belum pernah merasakan delima. Bagaimana saya biasa merasakan yang manis dan yang kecut,” jawab Mubarak.
“Apa? Sekian tahun kamu bekerja di sini dan menjaga kebun delima yang luas sebegini lalu kau bilang belum pernah merasakan buahnya. Kau berani berkata seperti itu!” Pemilik kebun itu marah kerana merasakan dirinya dipermainkan.
“Demi Allah Tuan, saya tidak pernah mencicipi satu butir buah delimapun. Bukankah anda hanya memerintahkan saya menjaganya dan tidak memberi izin pada saya untuk mencicipinya?” lirih Mubarak.
Mendengar ucapan itu pemilik kebun itu tersentak. Namun dia tidak langsung percaya begitu saja. Dia lalu pergi bertanya kepada teman-teman Mubarak dan tetangga di sekitarnya tentang kebenaran ucapan Mubarak. Teman-temannya mengakui tidak pernah melihat Mubarak makan buah delima.
Seorang temannya bersaksi, “Dia orang yang jujur, selama ini tidak pernah berbohong. Jika dia tidak pernanh makan satu buahpun sejak bekerja di sini bererti itu benar.”
Kejadian itu benar-benar menyentuh hati sang pemilik kebun. Diam-diam dia kagum dengan kejujuran pekerjanya itu. Untuk lebih meyakinkan dirinya, dia kembali memanggil Mubarak,
“Mubarak, sekali lagi, apakah benar kau tidak makan satu buahpun selama menjaga kebun ini?”
“Benar Tuan.”
“Berilah aku alasan yang bisa aku terima!”
“Aku tidak tahu apakah tuan akan menerima penjelasanku atau tidak. Saat aku pertama kali aku datang untuk bekerja menjaga kebun ini, tuan mengatakan tugas saya hanya menjaga. Itu akadnya. Tuan tidak mengatakan aku boleh merasakan delima yang aku jaga. Selama ini aku menjaga agar perutku tidak dimasuki makanan yang syubhat apalagi haram. Bagiku karena tidak ada izin yang jelas dari tuan, maka aku tidak boleh memakannya.”
“Meskipun itu delima yang jatuh di tanah, Mubarak?” Tanya tuan kebun.
“Ya, meskipun delima yang jatuh di tanah. Sebab itu bukan milikku, tidak halal bagiku. Kecuali jika pemiliknya mengizinkan aku untuk memakannya.”
Kedua mata pemilik kebun itu berkaca-kaca. Dia sangat tersentuh dan terharu. Dia mengusap air matanya dengan sapu tangan dan berkata,
“Hai Mubarak, aku hanya memiliki seorang anak perempuan. Menurutmu aku wajar mengahwinkannya dengan siapa?”
Mubarak menjawab,
“Orang-orang Yahudi mengawinkan anaknya dengan seseorang karena harta. Orang Nasrani mengahwinkan karena keindahan rupa paras. Dan orang Arab mengahwinkan anaknya karena nasab dan keturunannya. Sedangkan orang Muslim mengahwinkan anaknya pada seseorang kerana melihat iman dan taqwanya. Anda tinggal memilih, mahu masuk golongan yang mana? Dan kahwinkanlah puterimu dengan orang yang kau anggap satu golongan denganmu.”
Pemilik kebun berkata,”Aku rasa tak ada orang yang lebih bertaqwa darimu.”
Akhirnya pemilik kebun itu mengahwinkan puterinya dengan Mubarak. Puteri pemilik kebun itu ternyata gadis cantik yang solehah dan cerdas. Dia hafal kitab Allah dan mengerti sunah Nabi-Nya. Dengan kejujuran dan ketaqwaan, Mubarak memperoleh nikmat yang agung dari Allah Swt. Dia hidup dalam syurga cinta.